Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image >

VISI INDONESIA PADA TAHUN 2050

PENDAHULUAN

Pembangunan nasional itu sendiri harus bisa terukur, sehingga kemajuan yang dicapai dapat memiliki akuntabilitas, transparansi, dan akseptibilitas yang tinggi di mata masyarakat dan juga di mata dunia.
Dari balik rongga gelap ketidakjelasan tahun 2050, seakan muncul kekuatan magnetik luar biasa yang menggerakkan pikiran, perhatian, perasaan, dan tindakan banyak bangsa. Banyak negara dan bangsa seolah dibuat gelisah, seolah tidak sabar menunggu datangnya era baru dalam satu generasi mendatang.
Bagaimanakah sesungguhnya realitas dunia tahun 2050, yang menggetarkan dan mengerakkan banyak bangsa? Lebih khusus lagi, bagaimanakah nasib bangsa Indonesia pada tahun itu?
Tanda-tanda perkembangan tahun 2050 bagi banyak negara sudah mulai dirasakan sekarang ini. Tidaklah mengherankan, sejumlah negara tergerak memacu percepatan kemajuannya, berlari tunggang langgang, meraih kemajuan di dunia yang digambarkan semakin datar, the world is flat.
Tanpa membiarkan mata terpejam sedikit pun, konsentrasi diarahkan ke depan untuk menatap tujuan hidup yang lebih baik, yang menjamin kesejahteraan hidup, kemerdekaan individu, perlindungan hak asasi dan demokrasi. Tidak sedikit bangsa gamang menghadapi tantangan dalam menggapai masa depan yang lebih baik, tetapi lebih rumit.


NEGERI ini memang masih bermasalah. Tapi, bukan berarti kita tak boleh bermimpi. Maka, bertebaranlah cita-cita indah tentang sosok Indonesia di masa depan. Yayasan Indonesia Forum—sebuah organisasi yang dimotori oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan tycoon Chairul Tanjung—mengumandangkan Visi Indonesia 2030. Agustus ini, yayasan itu melansir draf awal dari Visi 2030 yang mereka kumandangkan sejak Maret sebelumnya.
Menurut visi itu, 23 tahun lagi Indonesia akan masuk dalam urutan kelima kekuatan terbesar ekonomi dunia. Kita nantinya hanya akan berada di bawah Cina, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Wow! Ini seperti angin segar di bulan kemerdekaan.
Lantas, akan berada di mana Australia, Amerika Latin, dan Jepang? Entahlah, mungkin para penggagas visi itu lupa melihat peta dunia. Pokoknya, mereka mencanangkan, di tahun 2030 setiap orang di negeri ini minimal bakal memiliki pendapatan US$ 18 ribu per tahun. Kualitas hidup kita akan sangat modern dan itu merata buat semua orang. Lantas, paling tidak akan ada 30 perusahaan Indonesia yang masuk dalam daftar Fortune 500 Companies. Tidak itu saja, PDB (produk domestik bruto) kita akan mencapai US$ 5,1 triliun. Untuk mencapai mimpi itu, Chairul Tanjung (Ketua Umum Yayasan Indonesia Forum) mensyaratkan sejumlah hal. Pertama, ekonomi harus dijalankan dengan berbasiskan keseimbangan pasar terbuka didukung birokrasi yang efektif. Asas kekeluargaan? Ke laut aja.
Kedua, perlu adanya pembangunan sumber daya alam, pembangunan manusia, peningkatan modal, serta penguasaan teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan. Lalu, ketiga, perekonomian nasional mesti terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global.
Syarat lainnya bersifat kuantitatif. Visi Indonesia 2030 akan tercapai jika pertumbuhan ekonomi riil rata-rata mencapai 8,5% per tahun, rata-rata laju inflasi 3%, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12% per tahun.
Raden Pardede, Sekjen Indonesia Forum, menuturkan, ada tiga tahapan yang bisa dicapai dalam kurun 2007-2030 untuk mencapai visi itu. Tahapan pertama dinamai tahap pembenahan, antara sekarang sampai tahun 2015. Selama delapan tahun itu, pertumbuhan diharapkan ada di kisaran 5% sampai 7%. Lalu, pada tahun 2015-2025, kita ada di tahap akselerasi.
Kala itu, pertumbuhan sudah harus mencapai 9%-11%. Pertumbuhan dan kontribusi sektor jasa harus melebihi sektor industri. Implementasi teknologi dalam perekonomian harus sudah optimal. Setelah itu, dari tahun 2025 sampai 2030, Indonesia masuk tahap keberlanjutan, dengan pertumbuhan PDB 7%-9% per tahun.
Setelah itu? Tahan dulu. Soalnya, Indonesia Forum sendiri belum sampai menggali upaya mencapai visi itu. Yayasan ini masih akan mencari mitra berupa lembaga penelitian atau universitas untuk mengurai visi tersebut. Visi ini memang belum matang.
Kendati belum matang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap memberi semangat. Menurut Presiden, Visi Indonesia 2050 memang sebuah mimpi. Tetapi, ia bilang, ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menciptakan mimpi dan mewujudkannya dalam realitas.”
Okelah, kita memang harus berusaha mewujudkan mimpi jadi kenyataan. Kita juga masih memiliki waktu 40 tahun lagi hingga tahun 2050. Tapi, apa daya, kondisi ekonomi makro kita selama ini tidak memperlihatkan trend meyakinkan. Pendapatan per kapita hanya sekitar US$ 1.600—tak sampai 10% dari yang ingin kita capai dalam 40tahun ke depan. Pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir juga tak pernah lebih dari 6%—dan sering berada di bawah rata-rata dunia. Kendati, tahun ini ada peluang kita mencapai pertumbuhan di atas 6%. Lantas, PDB kita sekarang juga hanya US$ 364 miliar (versi IMF) atau US$ 287 miliar (versi Bank Dunia).
Dalam versi Bank Dunia, PDB kita itu berada di urutan ke-24. Di daftar IMF, posisi kita sedikit lebih baik, ada di urutan ke-21. Urutan ke-24 atau 21 memang terlihat agak lumayan. Sepertinya, itu tak kelewat jauh dari posisi kelima yang kita idam-idamkan.
Tapi, jangan lupa, peringkat itu baru dilihat dari urutan PDB. Nah, kalau PDB tersebut dibagi lagi secara per kapita, maka posisi kita sebenarnya lebih buruk. IMF mencatat, pada tahun 2005, pendapatan per kapita orang Indonesia senilai US$ 1.640 dan berada di peringkat ke-115.
Raden Pardede menukas, peringkat lima besar dunia tidak akan dilihat dari pendapatan per kapita. ”Ini soal kekuatan ekonomi, bukan pendapatan per kapita,” ujar Raden.
Namun, Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mencatat, tetap saja terlalu banyak masalah yang menyulitkan kita masuk papan atas dunia. Negeri kita terkendala oleh persoalan pengangguran, korupsi, inkonsistensi penegakan hukum, dan otonomi daerah yang salah kaprah. Makanya, sulit mengundang investor masuk ke Indonesia. ”Negeri kita ini masih dinilai sebagai tempat yang high cost economy,” ujarnya kepada Windarto dari TRUST.

KADIN JUGA PUNYA MIMPI
Tak heran jika peringkat daya saing negara Indonesia pada tahun 2006 masih terbilang buruk—urutan 50 dari 125 negara. Betul, peringkat itu sudah naik dibanding tahun sebelumnya (ke-69 dari 107 negara). Namun, dibandingkan negara Asia lain, posisi Indonesia masih rendah. Singapura ada di peringkat ke-5, Jepang ke-7, Malaysia ke-26, Thailand ke-35, dan India ke-43.
Dengan peringkat daya saing yang masih seburuk itu, wajar jika muncul anggapan bahwa upaya untuk menjadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia diibaratkan seperti memulai lomba dari posisi jauh di belakang garis start.
Kurang realistisnya Visi 2050 juga terlihat dari jumlah penduduk yang diperkirakan menghuni negeri kita pada tahun 2050. Ida Bagus Permana, Deputi Informasi Kependudukan BKKBN, menuturkan, penduduk Indonesia saat ini sekitar 224 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk dalam beberapa tahun terakhir sekitar 2,3% per tahun. Kalau pertumbuhan itu tak bisa ditekan, maka jumlah penduduk kita nanti akan melebihi 300 juta jiwa. Indonesia Forum menghitung pertumbuhan penduduk 1,12% dan jumlah penduduk kita nantinya 285 juta jiwa.
Ekonom Faisal Basri menduga, Indonesia Forum seolah menempatkan dulu cita-cita yang ingin mereka capai, baru setelah itu mencoba menguraikannya. Itu sebabnya, Faisal juga melihat Visi 2050 itu ibarat mimpi di siang bolong.
Tapi, Faisal tidak sekadar mengolok-olok. Ia lantas bergabung dengan tim dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin)—yang juga mengolah apa yang disebut Visi 2050 dan Roadmap Industri 2010 versi Kadin. Visi dan roadmap ini tak menempatkan target kuantitatif. Tim Kadin memulai menuliskan visi dan roadmap itu dengan menemukan akar masalah yang berkaitan dengan pengangguran, kemiskinan, menurunnya daya saing investasi, perbaikan iklim berusaha, dan kebangkitan sektor riil. Pada akhirnya, Kadin memimpikan, Indonesia di tahun 2030 menjadi negara industri maju dan bangsa niaga tangguh.
Upaya yang mereka galang adalah membangkitkan kekuatan rekayasa, rancang bangun, manufaktur, dan jaringan penjualan produk industri nasional—terutama dengan menghasilkan barang dan jasa berkualitas. Kadin berharap, seluruh produk dan jasa itu bisa menang bersaing dengan produk dari Vietnam, Malaysia, dan Cina. Baik di pasar domestik maupun regional.
Selain itu, Kadin memandang perlunya kebangkitan industri nasional pengolah hasil sumber daya alam sehingga dapat mendorong pencapaian swasembada pangan secara lestari dan berkemampuan ekspor. Perlu juga membangkitkan industri nasional berbasis tradisi dan budaya bangsa sehingga menjadi ”life style” masyarakat Indonesia.
Untuk mencapai Visi 2050 tersebut, Kadin menyusun peta jalan atau Roadmap 2010. Kenapa 2010? Karena pada tahun 2010 akan benar-benar dimulai era persaingan bebas melalui pemberlakuan aturan WTO.
Dalam roadmap itu, ada tiga misi utama yang harus diwujudkan, yaitu mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 7% per tahun, meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing bangsa, serta menciptakan lapangan kerja sekaligus memangkas angka kemiskinan. Cara menjalankan misi itu dilakukan lewat restrukturisasi total industri nasional, reorientasi arah kebijakan ekspor bahan mentah, dan penataan ulang tata niaga pasar dalam negeri yang difokuskan pada 10 klaster industri unggulan.
Sepuluh klaster industri unggulan tadi meliputi empat klaster pendongkrak pertumbuhan (industri tekstil dan produk tekstil, elektronik dan komponen elektronik, otomotif dan komponen otomotif, serta perkapalan), tiga klaster industri peningkatan investasi dan daya saing (industri pengembang infrastruktur, industri barang modal dan mesin perkakas, petrokimia hulu dan antara), serta tiga klaster industri pencipta lapangan kerja dan pemangkas kemiskinan (industri bahari, agro, dan industri berbasis tradisi budaya).
Rachmat Gobel, Wakil Ketua Umum Kadin, mengaku tidak tertarik untuk menempatkan Indonesia dalam urutan tertentu pada peringkat ekonomi dunia. ”Yang pasti, Indonesia bisa menjadi besar karena memiliki potensi untuk itu,” ujar Rachmat.

Dalam pidato presiden,presiden mengatakan “Terus terang saya harus mengatakan, bangsa Indonesia barangkali tidak akan memiliki masa depan yang cerah kalau kita kering dalam cita-cita dan idealisme. Kita hidup dalam pragmatisme dan keseharian. Sebagai bangsa, janganlah kita kering dari cita-cita, pemikiran besar, serta gagasan-gagasan dan idealisme itu.

Masa depan kita juga tidak cerah, kalau kita tidak menjadi bangsa inovatif, yang terus menyampaikan pikiran-pikiran besar. Mengubah mimpi menjadi kenyataan. Kita juga tidak akan maju dan kalah, kalau kita tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Di atas segalanya, menyangkut Visi Indonesia 2030, kita juga tidak akan dapat mewujudkan cita-cita besar itu, kalau kita tidak bersatu, tidak berjuang bersama untuk membangun hari esok kita.

Selaku kepala negara, saya menyerukan kepada seluruh komponen bangsa, mengajak sebanyak mungkin anak-anak bangsa kita, untuk menggagas dan mengkontruksikan masa depan negara kita. Marilah kita melibatkan sebanyak mungkin generasi muda karena masa depan sesungguhnya adalah milik mereka semua. Tetapi yang saya harus sampaikan ini meskipun kita tahu tidak pernah ada jalan yang lunak untuk mencapai cita-cita yang besar, tetapi marilah kita yakinkan diri kita. Jika bangsa lain dapat maju, Indonesia pasti bisa maju, Insya Allah.

Ini kesempatan yang baik, kalau saya boleh sedikit menyampaikan catatan-catatan kecil saya terhadap gagasan Indonesia Forum �?yang menggagas Visi Indonesia 2030�? saya ingatkan kembali bahwa negara kita sesungguhnya juga telah memiliki semacam visi masa depan kita yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 yang berjudul “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025�?. Tidak hendak untuk membanding-bandingkan, karena saya yakin banyak kandungan yang sama, semangatnya sama, tujuan yang sama, dan dua-duanya mengundang kebersamaan dan kerja keras kita semua.
Yang perlu saya garis bawahi, pemikiran dari Indonesia Forum adalah bahwa Visi Indonesia, berarti Indonesia masa depan yang kita tuju, yang hendak kita wujudkan tahun 2030 adalah negara maju yang unggul dalam pengelolaan kekayaan alam. Dikatakan ada 4 sasaran utama, empat capaian utama, yang sempat saya catat.

Pertama, Indonesia ingin menjadi negara ekonomi besar, big five negara ekonomi besar dan dengan pendapatan disebutkan dengan 18 ribu perkapita.

Kedua, pengelolaan kekayaan alam dilakukan dengan mempertahankan keberlanjutannya, sustainability. Saya senang dengan rumusan ini, karena kalau tidak sustainable kita mengelola kekayaan alam kita, masa depan kita tidak akan bertambah cerah, barangkali akan makin gelap.

Ketiga, diingatkan kepada kita bahwa yang hendak dituju adalah kualitas hidup modern yang merata, self growth. Dalam banyak kesempatan, saya mengingatkan kita semua, bahwa yang kita tuju bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata, tetapi growth with equity, pertumbuhan disertai pemerataan. Oleh karena itu, growth must be inclusive, growth must be broad based, growth must be just dengan rumusan ini mudah-mudahan apa yang hendak kita tuju bisa diwujudkan.

Keempat, dari sisi dunia usaha, Forum Indonesia mencita-citakan memimpikan pada tahun 2030, ada 30 perusahaan Indonesia yang masuk menjadi four to five hundred companies.

Untuk mewujudkan cita-cita maha besar itu, dari tujuan yang luar biasa itu ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan, yang tadi ingin mendayagunakan potensi yang kita miliki, baik itu modal manusia, human capital, modal alam dan fisik, dan juga modal sosial. Saya garis bawahi, modal sosial ini karena bagaimanapun, kalaupun kita punya banyak sekali potensi, kalau tidak disinergikan, tidak disatukan energi itu, tidak akan pernah menjadi kekuatan yang dahsyat untuk mencapai tujuan yang kita hendak capai.

Dari catatan saya ada beberapa imperatif yang dipersyaratkan sebenarnya oleh Yayasan Indonesia Forum, yang ingin dibangun adalah ekonomi, berbasis keseimbangan pasar terbuka, open market, kemudian meniscayakan pembangunan yang integrated, yang memadukan sumber daya alam, manusia, modal dan teknologi serta kemudian mengingatkan bahwa perekonomian waktu itu tahun 2030, barangkali perekonomian yang benar-benar berintegrasi dengan kawasan dan dunianya.

Dan yang terakhir, diperlukan konsensus masyarakat dan kerekatan sosial atau social cohesion. Dari itu semua, saya yakin kita akan dapat memberikan telaahan, kritik, masukan, dan rekomendasi. Saya berpendapat, harus terbuka pikiran dari Yayasan Indonesia Forum ini, dengan demikian pada saatnya nanti akan dapat diwujudkan sesuatu yang dibicarakan secara bersama di dalamnya. Ada semacam konsensus di antara kita yang menghendaki Indonesia kita menjadi lebih baik.

Oleh karena itu, pertama-tama saya berpesan terhadap semuanya itu, buatlah pemikiran ini sebagai pemikiran terbuka. Memang cukup berani Indonesia Forum mentargetkan tahun 2030 untuk Indonesia menjadi ekonomi nomor 5 besar tadi. Saya membaca Saudara-saudara, memang tahun 2004 akhir ada sebuah telaahan yang mengatakan formasi kemajuan ekonomi bangsa-bangsa, itu konon di depan ada Jepang, Amerika, dan Uni Eropa, formasi di belakangnya ada India dan China dan beberapa negara yang lain. Konon katanya dalam buku itu, Mapping the Global Future Indonesia lapis berikutnya lagi setelah India dan China. Tulisan yang lain mengatakan the emerging power, emerging market, emerging economic adalah yang disebut dengan BRIC, Brazilia, Russia, India, China, tetapi ada lagi tulisan dari UBS saya kira yang berjudul The Essential, yang terbit pada tahun ini. Dikatakan di situ, memang ada optimisme bagi bangsa kita. Karena sangat mungkin Indonesia disitu, dikatakan pada tahun 2025, menurut Essential akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia, yang pertama dikatakan di situ China, yang kedua Amerika Serikat, yang ketiga Uni Eropa, yang keempat India, yang kelima Jepang yang keenam Brasilia, yang ketujuh Indonesia setelah itu ada Jerman, Inggris dan lain-lain.

25 tahun kemudian, 2050 konon menurut buku itu bergeser lagi Big The G5 atau G-Five itu, yang pertama tetap China, yang kedua India, yang ketiga Amerika Serikat, yang keempat Uni Eropa, yang ke lima Indonesia, Jepang, Brazilia setelah kita. Di situ dikatakan mengapa ada estimasi besar seperti itu, dikaitkan dengan potensi ekonominya, the geography, the size of population, trennya dan lain-lain, sampailah pada kesimpulan seperti itu. Tetapi itu 2050, yang saya pikirkan barangkali kalau semua imperatif, pekerjaan rumah yang kita lakukan tadi dilaksanakan, sangat boleh jadi, kita menempati posisi terhormat seperti itu. Tetapi Indonesia Forum men-challenge dan merasa yakin diri kita lebih cepat 20 tahun dari yang diramalkan oleh yang lain, silakan dikritisi nanti, apakah itu realistik, ya atau tidak, tapi yang jelas tentu ada alasan yang dapat dijadikan landasan diterimanya alasan yang tadi disampaikan oleh Indonesia Forum untuk mencanangkan 2030 sebagai tahun baik bagi Indonesia.

Namun dari segalanya itu, saya memberikan apresiasi terhadap pemikiran strategis ini dan memang Saudara-saudara ketahui setelah mendengar ini nanti ada komentar, wah ini mimpi ni ye. Inilah bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang bisa menciptakan mimpinya menjadi kenyataan. Tetapi kalau saya boleh memberikan apresiasi dengan pikiran yang positif sebagai satu exercise besar oleh kita, dari kita, dan untuk kita, di masa yang jauh ke depan.

Setelah kita pahami garis besar atau esensi dari Visi Indonesia 2030 yang digagas oleh Indonesia Forum, saya hanya ingin mengingatkan kembali Undang-Undang Nomor17 Tahun 2007. Undang-Undang adalah produk Pemerintah dan DPR RI, tetapi maksudnya inilah produk negara. Negara memang harus punya visi. Negara harus punya tujuan. Melangkah kemana dalam 20, 30 tahun dari sekarang, yang Undang-Undang itu menjadi tuntunan dan rujukan dalam perencanaan pembangunan nasional kita.

Visi Indonesia Tahun 2025 katakanlah begitu menurut Undang-Undang kita ini, adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Belum mengatakan maju dan unggul di sini dielaborasi mandiri, maju, adil, dan makmur. Kalau Indonesia Forum menetapkan misi kita menuju ke situ, maka dalam Undang-Undang yang kita miliki ada delapan langkah yang meski kita lakukan dari sekarang sampai 2025, yaitu pertama, langkah-langkah bersama mewujudkan masyarakat yang bermoral, berbudaya, dan beradab. Civilized disini menjadi sasaran pertama berdasarkan Falsafah Pancasila, begitu yang kita tuangkan dalam Undang-Undang kita.

Kedua, di berbagai kesempatan, saya mengingatkan freedom, rule of law and tolerance itu harus duduk bersama, kalau itu duduk bersama demokrasi yang akan mekar dan tumbuh tentu adalah demokrasi yang mengandung harmoni di dalamnya. Ketiga, Indonesia yang aman, damai, dan bersatu. Saya menggarisbawahi bersatu dari Undang-Undang kita.

Berikutnya lagi, pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Ini koreksi atas banyak hal yang terjadi di waktu yang lalu. Pengalaman negara-negara lain, juga kalau growth hanya for the side of growth tidak disertai dengan pemerataan, akan mendatangkan keburukan, kesenjangan, konflik, dan lain-lain.

Kemudian Indonesia yang asli dan lestari, maksudnya adalah yang bisa memelihara kesinambungan, berkelanjutan, sustainability dari pembangunan kita. Di era sekarang ini, makin berkumandang di tingkat dunia, kesadaran bersama utuk mengatasi global warming, climate change yang berubah banyak sekali tatanan di belahan bumi. Saya kira kalau kita sadar dan kita menjadi bagian dari itu, saya kira langkah yang paling tepat.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju dan kuat, maksud dari Undang-Undang adalah mengingatkan tentang bentuk geografi kita, wilayah kita. Dan yang terakhir Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia. Itu adalah yang tertuang dalam Undang-Undang kita. Kita harus menata kembali negeri kita setelah krisis. Membangun, memajukan, seraya mempertahankan partisipasi dan kontribusi kita dalam hubungan antar bangsa.

Kemudian kalau boleh saya simpulkan apa yang ada dalam Undang-Undang kita No.17 yang disitu memang diakhiri dengan kunci keberhasilan, sama dengan tadi di Yayasan forum. Kunci keberhasilannya apabila ada komitmen dari kepemimpinan nasional kita semua. Untuk mencapai semuanya itu, ada konsistensi kebijakan dari periode ke periode. Regularitas demokrasi meniscayakan lima tahun, ada konsistensi dan kesinambungan tiap-tiap lima tahun. Keberpihakan kepada rakyat harus kuat, bukan rakyat untuk pembangunan, tetapi pembangunan untuk rakyat. Dan akhirnya diperlukan peran serta masyarakat dan dunia usaha. Itu adalah empat kunci keberhasilan yang ada dalam Undang-Undang kita, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.

Dari semuanya ini, saya melihat bahwa ada titik temu, ada kesamaan, ada kesepadanan diantara kedua gagasan ini, visi 2030 dan visi 2025 yang tertuang dalam Undang-Undang kita. Barangkali Undang-Undang kita memberikan cakupan yang lebih luas, lebih komprehensif, sedangkan visi 2030 nampak tadi bahwa tekanannya adalah pada tampilan, kinerja, kemajuan ekonomi, yang tentunya juga berdampak pada kesejahteraan. Dari semuanya itu, pada kesempatan yang membahagiakan ini, terakhir dari apa yang saya sampaikan adalah mari kita menjawab pertanyaan kritis yang hendak saya sampaikan ini.

Dapatkah kita mewujudkan Visi Indonesia sebagaimana yang disampaikan tadi, 2050 menurut Indonesia Forum, maupun 2050menurut Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional kita?

Kemudian pertanyaan kritis kedua, apakah langkah kita ke depan sebagai bangsa? Dapatkah kita berarti menguji keyakinan kita, dan kemudian apabila kita yakin atau membuat untuk yakin itu tercapai, tentu ada langkah-langkah besar yang harus kita lakukan secara bersama. Saya punya keyakinan Saudara-saudara, dalam abad ke 21 ini, Indonesia akan mampu menjadi negara maju dan sejahtera. Maju dalam arti self generating nation. Maju karena memiliki daya saing, competitiveness, memiliki productivity mengelola semua yang dimiliki potensinya untuk mencapai tujuan. Sebuah pertumbuhan yang sustainable dalam jangka pendek, jangka menengah, barangkali bagi ekonomi saya kira sudah sangat mengetahui pertumbuhannya. Sering kita maknai atau kita lihat dari sisi demand, apakah konsumsi kita, investasi kita, pengeluaran Pemerintah kita dan ekspor bersih kita bisa terus meningkat sehingga pertumbuhan meningkat? Tapi dalam jangka panjang saya punya keyakinan, bangsa yang akan tumbuh dan sustainable adalah bangsa yang memiliki human capital dan teknologi yang tinggi, productivity menjadi sangat penting. Oleh karena itu, dalam bayangan saya, Indonesia yang maju adalah self generating nations karena competitiveness, karena productivity, dan karena kemampuan teknologinya untuk mendayagunakan yang kita miliki, termasuk sumber daya alam yang ada di negeri kita.

Saya punya keyakinan abad 21 ini, 100 tahun ke depan, kita lihat tonggaknya dimana nanti, kita akan bisa mewujudkan cita-cita dan tujuan yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi cita-cita dari para Pendiri Republik. Mengapa kita perlu yakin Saudara-saudara, paling tidak mengapa saya meyakini? Pertama, saya ingin menyampaikan kalau kita melihat lintasan, perjalanan, dan pelajaran sejarah kita memungkinkan untuk itu. Kalau kita ingin mengkontruksi masa depan kita 100 tahun ke depan, baik kalau kita melihat kembali perjalanan bangsa kita 100 tahun ke belakang. Dengan demikian, kita akan paham, sejauh mana bangsa kita ini dalam perjalanan panjangnya, mungkin di sini kemampuan dan ketangguhan tertentu untuk mengatasi masalah dan mewujudkan cita-citanya.

Yang kedua, di samping perjalanan sejarah dengan pelajaran-pelajaran besar, mengapa saya yakin? Kita semua tahu negeri kita memiliki modal dan potensi nasional yang besar.

Yang ketiga, trend perkembangan negara kita pun minus diskontinuitas, minus shocks, minus kemunduran-kemunduran disana-sini, trend line positive dari periode ke periode.

Dan yang keempat, mengapa saya yakin? Ada peluang di depan kita, baik secara nasional, maupun sebagai bagian dari proses hubungan antar bangsa kita, regional maupun global. Dari empat tinjauan itu, saya memiliki keyakinan bahwa abad 21 ini kita akan dapat mewujudkan, baik yang disampaikan Indonesia Forum, maupun yang saya sampaikan tadi sesuai Undang-Undang yang kita miliki.

Yang saya maksudkan dengan pelajaran besar dari sejarah kita adalah, menurut pendapat dan penilaian saya, bangsa kita selalu dapat mengatasi persoalan bangsa sepanjang sejarahnya, termasuk krisis, dan kemudian melangkah ke depan melanjutkan perjalanannya. Memang kalau kita kembali sedikit pada kebangkitan era modern di dunia ini, era modern dunia itu dipercayai mulai abad ke-18, terutama setelah kita menyaksikan di dunia, bukan kita menyaksikan para Founding Fathers kita, revolusi-revolusi besar, revolusi Perancis, revolusi Industri, revolusi di Amerika sebelumnya. Kebangkitan bangsa kita agak memang terlambat dibandingkan negara-negara maju. Meskipun sesungguhnya pada abad 19 ekonomi kita sudah berintegrasi dengan ekonomi global, pada masa Hindia Belanda, tetapi pemerintah penjajah waktu itu, dengan kontrolnya yang kuat memang tidak membuka peluang, kita sendiri yang bisa mengintegrasikan dari semuanya itu. Kecuali setelah abad 20, 1908 dan periode-periode seterusnya, setelah ada Kebangkitan Nasional, maka kita mufakat bahwa ternyata, ketangguhan dan kemampuan kita sebagai bangsa mengatasi masalah-masalah besar, memproklamirkan kemerdekaan dan periode terus dan seterusnya, telah diuji dalam sejarah dan itu memang memiliki kemampuan yang kita banggakan.

Jika bangsa kita mampu mengatasi krisis dan berbuat sesuatu untuk masa depan, kita lihat revolusi kemerdekaan, survive kita. Kita atasi dan kita melangkah maju. Era Pemerintahan Presiden Soekarno, bukan main persoalan yang dihadapi, kita atasi, krisis dilampaui dan maju. Era Pemerintahan Presiden Soeharto, banyak masalah-masalah dan akhir pemerintahan itu juga ada krisis, tapi juga ada kemajuan dari bangsa ini, oleh anak bangsa yang mencapainya. Dari itu semua, saya percaya Saudara-saudara, di era reformasi ini meskipun banyak sekali masalah yang juga kita hadapi, pada saatnya kita akan keluar dari semuanya ini, akan kita atasi semua krisis dan kita lampaui dan kemudian kita, sebagaimana generasi-generasi sebelumnya akan dapat melakukan kebaikan dan kemajuan untuk bangsa dan negara kita.

Ini alasan saya bahwa kita patut memiliki keyakinan untuk bisa mencapai tujuan-tujuan itu. Yang penting Saudara-saudara, semua imperatif, semua keharusan, baik yang ada dalam tulisan Indonesia Forum, Visi Indonesia 2030, maupun dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 haruslah kita jalankan dengan sungguh-sungguh.

Oleh karena itu, dengan keyakinan dan ingatan untuk kita semua seperti itu, saya meminta pada Yayasan Indonesia Forum dan segenap komponen bangsa yang ikut berperan merumuskan Visi Indonesia 2030 ini untuk meneruskan prakarsa dan kegiatan ini. Teruskan langkah-langkah positif, langkah-langkah positif dari manapun komponen bangsa ini, orang seorang, kelompok, dan siapapun selalu ada manfaatnya. Dan apabila kita menyambutnya dengan pikiran terbuka, meskipun juga bisa memberikan kritik dan yang baik kita jadikan betul untuk mengubah masa depan kita, saya yakin akan banyak yang dapat kita lakukan pada periode ini dan pada periode-periode berikut lagi. Tuhan tidak akan mengubah nasib dan masa depan Indonesia, kecuali dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, kita sendiri yang mengubahnya.

Dan akhirnya Saudara-saudara, saya titip satu, barangkali kata-kata bijak pemberi semangat, sebagai apresiasi saya terhadap Indonesia Forum hari ini dalam bahasa Inggris yang nanti akan saya sadur secara bebas, yang mengatakan demikian, no challenge is to create, by sharing a common understanding we build brigdes, by carrying today we invest in tomorrow, and by working together we do make a difference. Dalam saduran bebas saya adalah, tiada tantangan yang terlalu besar untuk kita atasi dengan menyatukan kesadaran dan pemikiran kita, kita membangun jembatan menuju masa depan. Dengan memelihara dan mengelola apa yang kita miliki, hari ini, today, kita menanam dan mempersiapkan hari esok, tomorrow. Dan dengan bekerja dan melangkah bersama, kita mengubah negeri kita, make it different, mengubah masa depan yang kita cita-citakan bersama.

JEPANG KOK TAK DIANGGAP
Namun, ekonom Cyrillus Harinowo menilai, tak ada salahnya untuk pede memasukkan Indonesia dalam urutan tertentu di peta kekuatan ekonomi dunia. Toh, Goldman Sach dan PriceWaterhouseCoopers (PWC) juga percaya bahwa Indonesia akan menjadi besar. Goldman Sach adalah salah bank investasi terbesar di dunia. PWC merupakan kantor akuntan publik nomor satu sejagat.
PWC pernah membuat prediksi berjudul ”The World in 2050”, Maret 2006 lalu. Di sana dituliskan, ada kelompok negara yang disebut E-7, The Emerging Seven, yang terdiri dari tujuh negara berkembang, yakni Cina, India, Brasil, Rusia, Indonesia, Meksiko, dan Turki. Kelompok E-7 ini diduga akan melampaui kekuatan ekonomi negara-negara G-7 sekarang, pada tahun 2050 kelak. Ingat, tahunnya 2050, bukan 2030.
Lantas, Goldman Sach menyatakan adanya kekuatan ekonomi baru yang disebut BRIC’s—Brasil, Rusia, India, dan Cina. Belakangan, Goldman Sach menulis bahwa selain BRIC’s, akan ada 11 negara yang mereka sebut N-11 (Next 11), sebagai kekuatan ekonomi yang tak boleh disepelekan, juga pada tahun 2050 nanti. Ke-11 negara itu adalah Banglades, Mesir, Indonesia, Iran, Korea, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Turki, dan Vietnam.
Jadi, memang Indonesia ini diperhitungkan. Hanya saja, Cyrillus menilai, Visi 2030 ala Indonesia Forum kelewat ambisius. Bahkan, penetapan urutannya juga dianggap ngaco. ”Masa Jepang tidak dianggap,” ujarnya.
Yang jelas, perlu banyak kerja keras untuk mewujudkan mimpi membesarkan Indonesia, baik pada 2030 atau 2050. India dan Cina menjadi besar lantaran kemampuan meningkatkan sumber daya manusia dan teknologi informasi. Lihat Bangelore (India) dan Dalian (Cina). Di sana, suasananya sudah benar-benar mirip lembah Silicon di Amerika. Di kita? Baru sedikit orang yang melek internet. Anggaran pendidikan juga pas-pasan. Amanat konstitusi yang mewajibkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN tak pernah dipenuhi.
Wartawan Thomas Friedman menegaskan, kualitas manusia dan penguasaan teknologi informasi sangat menentukan kemajuan sebuah bangsa. Friedman menuturkan, globalisasi saat ini sudah sebegitu efisiennya sehingga dunia seolah menjadi datar. Arus barang dan jasa antarnegara bisa ditransfer sangat-sangat cepat karena perkembangan teknologi informasi dan peningkatan sumber daya manusia di seluruh dunia.
Kita belum merasakan datarnya dunia. Negeri ini malah seperti menjadi bagian yang tertekuk ketika globalisasi mendatarkan bulatan bola bumi.
Joseph Stiglitz, ekonom peraih nobel, lugas mengatakan, Indonesia adalah korban globalisasi. Di mata Stiglitz, Indonesia gagal menolak tekanan kepentingan ekonomi global. Sehingga, kebijakan-kebijakan ekonomi yang lahir di negeri ini tak mampu memangkas angka kemiskinan dan pengangguran.
Mungkin Stiglitz benar. Laporan indeks pembangunan manusia (HDI) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terakhir dirilis 11 September 2006, menunjukkan, Indonesia selalu berada pada posisi tier medium human development. Peringkat negeri ini dalam membangun manusianya ada di urutan ke-108. Itu adalah posisi terburuk kedua di Asia Tenggara—setelah Kamboja. Posisi yang tak membanggakan itu sudah kita huni selama 10 tahun.
Laporan pencapaian Millennium Development Goal’s Asia Pacific pada 16 Oktober 2006, juga menempatkan Indonesia dalam satu kelompok bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina. Kelompok itu adalah negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDG’s tahun 2015. MDG’s adalah program PBB untuk menghilangkan kemiskinan di dunia.
Kemungkinan Indonesia gagal mencapai target MDG’s 2015 itu tidak berlebihan. Akhir tahun silam, Bank Dunia juga meluncurkan hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia. Dari studi itu ketahuan bahwa jumlah orang miskin di negeri ini sudah hampir 109 juta orang atau sekitar 49% dari total penduduk.
Kita memang masih miskin. Tapi, miskin bukan berarti kita tak boleh bermimpi. Toh, memang itu yang baru kita bisa. o

SEGI EKONOMI

Riset yang dilakukan oleh Goldman Sachs memperkirakan bahwa pada sekitar tahun 2040, kemampuan ekonomi Brasil, Rusia, India, dan China (untuk selanjutnya disingkat BRIC) akan melampaui G-6, kelompok negara maju yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, Perancis, dan Itali.

Kemampuan ekonomi di sini diukur dari produk domestik bruto (PDB). Kalau ini benar, akan terjadi perubahan geoekonomi yang pada gilirannya akan membawa pergeseran geopolitik. Peranan Indonesia dalam perubahan geopolitik ini akan ditentukan oleh kemampuannya untuk mengembangkan ekonomi nasional dalam dinamika Asia yang berkembang pesat.

Pada tahun 2003, Goldman Sachs melakukan suatu proyeksi terhadap empat negara, yaitu China, India, Brasil, dan Rusia. Negara yang dipilih ini termasuk negara yang berpenduduk terbesar pertama, kedua, kelima, dan kedelapan di dunia.

Dengan mempertimbangkan aspek demografi, pemupukan modal, produktivitas ekonomi, dan peningkatan nilai tukar mata uangnya, kemampuan ekonomi keempat negara ini (diukur dari PDB) akan melampaui G-6 pada tahun 2039. Kalau ini terus berlanjut, pada tahun 2050 ekonomi BRIC akan meningkat menjadi 1,5 kali lipat dari G-6.

Gambaran ini tersusun dari perkiraan sebagai berikut. Ekonomi China diperkirakan akan tumbuh rata-rata 8,0 persen per tahun pada tahun 2000-2005 (pada kenyataannya tumbuh 9,4 persen per tahun) dan secara bertahap melambat menjadi 2,9 persen pada tahun 2045-2050.

Perekonomian Brasil diperkirakan tumbuh 4,2 persen per tahun pada tahun 2005-2010 kemudian melambat menjadi 3,4 persen pada tahun 2045-2050. Ekonomi Rusia tumbuh 5,9 persen per tahun pada tahun 2000-2005 dan secara bertahap melambat menjadi 1,9 persen pada tahun 2045-2050.

Adapun ekonomi India diperkirakan tumbuh rata-rata 5,3 persen per tahun pada tahun 2000-2005 (pada kenyataannya tumbuh 6,4 persen). Kemudian melambat dan meningkat lagi pada tahun 2030-2035 karena siklus demografi dan melambat lagi menjadi 5,2 persen pada tahun 2045-2050.

Dengan memperkirakan peningkatan nilai tukar mata uang BRIC sekitar 2,5 persen per tahun, PDB China diperkirakan akan melampaui Jerman pada tahun ini, Jepang pada tahun 2015, dan AS pada tahun 2040.

Ekonomi India akan melampaui Italia pada tahun 2016, Perancis pada tahun 2019, Jerman pada tahun 2023, dan Jepang pada tahun 2032. PDB Rusia akan melampaui Itali pada tahun 2018, Perancis pada tahun 2024, Inggris pada tahun 2027, dan Jerman pada tahun 2028.

Adapun ekonomi Brasil diperkirakan akan melampaui Italia pada tahun 2025, Perancis pada tahun 2031, dan Jerman pada tahun 2026. Secara keseluruhan, pada tahun 2050, enam perekonomian terbesar di dunia diukur dari PDB dalam dollar AS akan ditempati oleh China, AS, India, Jepang, Brasil, dan Rusia. Adapun Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia akan bergeser ke posisi 7 sampai 10.

Belum terkaya

Meskipun kemampuan ekonomi BRIC melampaui PDB G-6, setiap negara BRIC belum menjadi negara terkaya di dunia. PDB per kapita China pada tahun 2050 baru akan mencapai sekitar 31.000 dollar AS, hampir sama dengan pendapatan per kapita rakyat AS pada tahun 2000, sedangkan PDB per kapita AS pada waktu itu akan mencapai hampir 84.000 dollar AS.

Satu-satunya pendapatan per kapita BRIC yang akan melampaui beberapa negara G-6 adalah Rusia. Pada tahun 2050, PDB per kapita Rusia akan mencapai sekitar 50.000 dollar AS, melampaui pendapatan per kapita rakyat Italia dan Jerman.

Pengertian PDB per kapita sangat berbeda dengan PDB. PDB per kapita lebih menggambarkan kesejahteraan rakyat meskipun belum menggambarkan distribusi pendapatan masyarakat di dalam suatu negara.

Adapun PDB lebih menggambarkan kemampuan ekonomi suatu negara, kekuatan pasar dalam negeri yang bisa digerakkan, dan pada gilirannya dapat menjadi kekuatan di dalam menentukan politik luar negerinya.

Rakyat Swiss dan Singapura dengan pendapatan per kapita lebih dari 52.000 dollar AS dan 27.000 dollar AS dapat dikatakan lebih sejahtera dibandingkan dengan rata-rata rakyat China yang hanya berpendapatan 1.700 dollar AS. Namun secara agregat, kemampuan ekonomi Singapura dan Swiss jauh di bawah China. Demikian juga kekuatan politik dan pertahanannya.



Beberapa catatan

Ada beberapa catatan yang cukup baik dari riset yang dilakukan oleh Goldman Sachs. Pertama, dengan tingkat pertumbuhan itu, pada tahun 2010 peningkatan pengeluaran BRIC diperkirakan melebihi peningkatan pengeluaran G-6.

Adapun pada tahun 2025, peningkatan pengeluaran BRIC akan menjadi dua kali lipatnya dan pada tahun 2050 akan menjadi empat kali lipat dari peningkatan pengeluaran G-6. BRIC akan menjadi penggerak dari sisi permintaan dan pengeluaran yang sangat besar dan dapat mengimbangi pengaruh dari struktur penduduk yang menua dan pertumbuhan ekonomi yang lambat di negara-negara maju.

Kedua, tidak tertutup kemungkinan BRIC mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mencapai tingkat pembangunan sebagaimana yang diperkirakan. Peluang China untuk mencapai tingkat pembangunan tersebut sangat besar.

Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, sejak tahun 1979-2005 ekonomi China tumbuh rata-rata 9,7 persen per tahun dengan hanya tiga tahun tumbuh di bawah 6 persen. India dan Rusia juga mempunyai histori yang cukup kuat, meskipun lebih singkat dan lebih fluktuatif dibandingkan dengan China.

Ekonomi India dan Rusia berturut-turut tumbuh 6,3 persen per tahun (1996-2005) dan 6,7 persen (1999-2005). Keraguan terletak pada ekonomi Brasil. Gejolak eksternal dengan ketergantungan utang yang besar pada dasawarsa 1980-an serta transisi dari rezim militer ke demokrasi yang lemah masih berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Brasil.

Meskipun negara ini sebelumnya pernah mengalami pertumbuhan yang tinggi, yaitu rata-rata 8,7 persen per tahun antara tahun 1971 dan tahun 1980, tren pertumbuhan ekonomi Brasil masih dalam kecenderungan melambat.

Ketiga, dengan BRIC yang mewakili Asia, Eropa, dan Amerika Latin, bagaimana dengan benua Afrika? Afrika tetap tertinggal dalam pembangunan. Afrika Selatan, perekonomian terbesar di benua Afrika, pada tahun 2050 PDB-nya diperkirakan hanya mencapai kurang dari seperlima PDB Brasil. Afrika tetap merupakan kawasan yang seakan-akan terkunci dalam sejarah pembangunan sejak beratus tahun yang lalu.

Perubahan geoekonomi

Meskipun gambaran yang diberikan oleh Goldman Sachs belum pasti akurat, ada beberapa implikasi yang penting. Pertama, Asia akan menjadi kekuatan ekonomi yang terbesar di dunia. Pada tahun 2025, ekonomi Jepang, China, dan India akan melampaui PDB AS. Secara berangsur, kebijakan ekonomi dan politik Jepang dari yang selama ini lebih condong ke Barat akan bergeser ke Asia dengan semakin kuatnya China dan India.

Pada tahun 2050, PDB ketiga negara Asia itu akan meningkat menjadi 2,2 kali lipat PDB AS. Ini belum memperhitungkan macan Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Kegiatan perdagangan antara negara-negara Asia akan meningkat luar biasa, padahal sebelumnya banyak bergantung pada pasar AS dan Eropa.

Kedua, dengan semakin meningkatnya kekuatan ekonomi Asia, terbuka peluang bagi Asia untuk menyatukan ekonomi sebagaimana Eropa. Meskipun karakteristik ekonomi di Asia jauh lebih beragam dibandingkan dengan Eropa, peluang ini tetap ada.

Kalau kemungkinan ini terbuka, beberapa negara Asia yang maju itu bukan tidak mungkin akan mempunyai mata uang tunggal sebagaimana euro. Potensi ini tetap ada dengan tren menurunnya nilai tukar dollar AS terhadap mata uang dunia lainnya. Goldman Sachs sendiri memperkirakan nilai tukar riil mata uang BRIC akan meningkat sekitar 300 persen selama 50 tahun.

Ketiga, kekuatan ekonomi China yang melampaui AS pada tahun 2040 akan membawa perubahan geopolitik. Politik luar negeri dan kekuatan pertahanan yang selama ini didominasi oleh AS secara berangsur-angsur akan terbagi menjadi tiga kekuatan besar, yaitu China, AS, dan Rusia.

Perubahan ini secara bertahap telah terlihat dari politik luar negeri China yang lebih progresif serta meningkatnya anggaran dan kekuatan pertahanan China. Ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari semakin majunya perekonomian suatu negara.

Selama satu dasawarsa terakhir anggaran pertahanan China meningkat dua digit setiap tahun. Ketertinggalan teknologi China dari AS, baik dalam bidang ekonomi maupun pertahanan, secara berangsur akan dikejar oleh China.

Implikasinya bagi Indonesia

Gambaran di atas memberi implikasi yang penting bagi Indonesia. Tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi mencakup aspek yang lebih luas termasuk politik luar negeri dan pertahanan.

Pertama, ekonomi Indonesia perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya agar dinamika Asia yang berkembang cepat itu dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi pembangunan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Semua potensi pembangunan, tidak hanya sumber daya alam, tetapi yang lebih pokok adalah sumber daya manusia, infrastruktur, ruang (teritori), dan teknologi harus dioptimalkan. Dua potensi pembangunan terakhir selama ini kurang dimanfaatkan secara baik bagi peningkatan kemampuan ekonomi kita. Di sini pentingnya strategi industrialisasi dan teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari arah pembangunan ekonomi mendatang.

Kedua, mempertegas arah pembangunan ekonomi yang akan ditempuh dalam jangka panjang. Secara konsep kita sudah mempunyai Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sampai tahun 2025.

Yayasan Indonesia Forum juga menyusun Visi Indonesia 2030. Apa pun rencana dan visi pembangunan jangka panjang sampai tahun 2050, di dalam menjabarkannya kepada prioritas pembangunan untuk kurun waktu yang lebih pendek harus konkret, konsisten, dan berkelanjutan.

Di sini peranan kepemimpinan dan pemerintah yang kuat serta sistem sosial, politik, dan budaya yang mendukung sangat besar. Ini kenapa China sewaktu di bawah kepemimpinan Mao tidak mampu memberi sinyal bahwa satu saat China akan menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Ketiga, meningkatkan peranan Indonesia paling tidak di Asia Tenggara dalam waktu dekat. Agar berperan lebih besar dalam dinamika Asia menuju tahun 2050, Indonesia perlu secepatnya kembali memainkan peran yang lebih besar di ASEAN, baik bidang ekonomi, politik, maupun pertahanan.

Langkah ini penting mengingat geoekonomi dan geopolitik ASEAN sangat strategis. Dengan demikian, posisi tawar Indonesia tidak saja sebagai negara, tetapi satu kawasan yang sangat strategis. Kuncinya ekonomi kita harus maju, stabilitas politik dalam negeri harus mantap, dan politik luar negeri kita harus progresif.

Bagi Indonesia, paparan John Hawksworth memberikan optimisme masa depan. Karena di tahun 2050, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keenam dunia dibawah AS, China, India, Jepang dan Brazil. Lebih besar dari kekuatan ekonomi dunia saat ini seperti Jerman, UK, Kanada, Perancis dan Itali. Pada tahun 2050 GDP per capita Indonesia diproyeksikan mencapai US$23.000, bandingkan dengan GDP per capita di tahun 2005 yang sebesar US$1.250.

Kajian yang dilakukan oleh John Hawksworth mengedepankan keunggulan kompetitif pasar, yaitu jumlah sumber daya manusia produktif yang melimpah di negara-negara BRIC-MIT selain variabel pertimbangan lainnya.

Sekalipun berbagai ketidakpastian akan berpengaruh terhadap bisa tidaknya proyeksi yang dilakukan John Hawksworth tersebut terjadi, optimisme akan makmurnya bangsa ini juga didukung oleh kajian-kajian lain misalnya yang dilakukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dengan Visi Indonesia 2030, dan oleh Yayasan Indonesia Forum

Dalam Visi 2030 dan Roadmap 2010 Industri Nasional yang dibuat oleh KADIN, dijabarkan, bahwa visi itu akan diwujudkan melalui tiga pilar utama yaitu
- pertama memperkuat kemampuan rancang bangun industri nasional dan jaringan penjualan
- kedua memperkuat industri berbasis sumber daya alam guna mencapai swasembada pangan.
- ketiga meningkatkan kreatifitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia untuk mengembangkan industri berbasis tradisi dan budaya bangsa yang berkualitas tinggi sehingga dicintai untuk digunakan sehari-hari di samping sebagai kekuatan menghadapi produk impor diera globalisasi.

Sementara itu Yayasan Indonesia Forum memproyeksikan pada tahun 2030 nanti, dengan jumlah penduduk sebesar 285 juta jiwa, PDB Indonesia bisa mencapai 5,1 triliun $US. Dengan pendapatan perkapita US$ 18.000 per tahun maka Indonesia akan berada pada posisi kelima ekonomi terbesar setelah China, India, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Untuk mencapai cita-cita dan impian ini, beberapa asumsi harus dapat tercapai, yaitu: pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 %, laju inflasi 4,95 %, dan pertumbuhan penduduk rata-rata hanya 1,12 % per-tahun.

DALAM HAL PENDIDIKAN

Masalahnya adalah, jika pendidikan kita dapat didefinisikan sebagai sebuah proses memaknai seluruh pengalaman hidup kita,pendidikan di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini didekati secara sempit, formalistik, terlalu berorientasi pasokan sebagai sebuah sektor di antara sektor-sektor lainnya. Pendidikan juga bukan arus utama pembangunan, terutama sebagai upaya memberantas kemiskinan. Bahkan melalui kebijakan Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan siswa, pendidikan telah direduksi menjadi teaching for the test, dan sekolah menjadi sekedar lembaga bimbingan belajar.

Di samping itu, kebijakan pendidikan yang sudah mendorong desentralisasi –melalui kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), misalnya- masih juga dalam praksisnya masih sentralistik, terutama melalui kebijakan Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan siswa.. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional gagal menyadarkan para guru untuk mengakrabkan murid dengan lingkungannya sendiri dan kreatif menyediakan solusi-solusi bagi beragam persoalan kehidupan mereka. Sebagai negara agraris, harus dikatakan, bahwa pembangunan pertanian kita saja tidak menunjukkan kinerja yang membanggakan, apatah lagi kinerja pembangunan kelautannya. Pendek kata, pendidikan kita gagal mengantarkan kita untuk memiliki kompetensi teknikal, dan sosial yang diperlukan untuk mengubah sumberdaya alam yang melimpah itu menjadi sumber kemakmuran dan kemajuan. Kita mengalami disorientasi dengan terlalu menekankan penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif-akademik (IQ) yang sempit, namun kurang memperhatikan jenis kecerdasan lainnya (menurut Howard Gardner ada delapan kecerdasan di luar kecerdasan linguistik dan matematik), termasuk soft-competence –seperti disiplin- yang justru dalam banyak hal jauh lebih menentukan keberhasilan kita sebagai individu maupun bangsa.

Sekolah dan kampus gagal mengembangkan kemandirian kita sebagai agen-agen perubahan (change agents) yang mengambil sikap kritis pada proses-proses pembangunan, namun seringkali justru menjadi benteng kemapanan, dan mereduksi diri menjadi sekedar diploma mills (pabrik ijazah). Dalam tugasnya sebagai pelahir agen perubahan, sekolah seharusnya menjadi tempat di mana kesadaran dan kepekaan terhadap waktu ditumbuhkembangkan. Budaya ”jam karet” yang masih melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia menunjukkan kegagalan tugas ini. Kampus juga menjadi contoh yang buruk dalam manajemen waktu : prosentase mahasiswa yang mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu (8 semester/ 4 tahun) cukup rendah (lihat Tabel 1). Kegagalan pendidikan kita telah menyebabkan sektor pertanian dan kelautan kekurangan para enterpreneur –sebagai agen perubahan- dan kekurangan tenaga kerja dengan wawasan dan kompetensi yang memadai sehingga kedua sektor inipun kurang berkembang, dan kurang terurus, terlebih sektor kelautannya.

Kita sering dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa keterbelakangan kita merupakan akibat dari sistem yang brengsek, ketiadaan leadership atau moral kita yang buruk. Beberapa sosiolog terkemuka mengatakan bangsa kita ini termasuk bangsa dan negara yang lembek (soft nation and state). Dalam rangka mengikhtiarkan perbaikan daya saing bangsa Indonesia dalam kancah kompetisi global saat ini Saya setuju dengan pendapat ini, namun saya akan memfokuskan diri pada satu persoalan dasar bangsa ini : ketidakpekaan (insensitivity) dan ketidakdisiplinan (indiscipline) kita terhadap waktu.

Gagasan pokok orasi ini adalah bahwa Transformasi Indonesia 2050 akan menjadi kenyataan dan bangsa ini keluar dari keterpurukan dan bangkit menuju kemajuan hanya dengan satu jalan : membangun kepekaan dan disiplin waktu baru yang sehat.

Tabel 1. Prosentase mahasiswa yang selesai tepat waktu

TA 2006-2007




Universitas Indonesia


ITS Surabaya


Universitas Hasanudin

Prosentase lulus tepat waktu


51%


44%


21,42%

Banyak mahasiswa (dari PTN terutama) yang tidak menyadari implikasi keterlambatan mereka menyelesaikan kuliah mereka. Di samping desain program yang lebih lama dibanding dengan program sejenis di negeri-negeri maju (pendidikan sarjana /bachelor di Inggris dan di Malaysia umumnya 6 semester), keterlambatan mahasiswa Indonesia menyelesaikan kuliah menyebabkan pemborosan yang luar biasa besar pada sektor ketenagakerjaan Indonesia. Umur pemegang gekar doktor Indonesia umumnya 5 tahun lebih tua, dan profesornya 10 tahun lebih tua daripada rekan-rekannya di negeri-negeri maju.

Penelusuran atas kurikulum pendidikan nasional akan mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pendidikan kita, sejak pendidikan dasar, tidak membangun kemampuan menggagas, meremehkan pendidikan sejarah, dan tidak memberikan pengalaman temporal dan spatial yang memadai untuk menumbuhkan kepekaan waktu pada anak didik. Pendidikan bahasa dan budaya membaca yang baik sebagai strategi meningkatkan kemampuan menggagas siswa terbengkalai. Jika pengalaman temporal dapat diberikan melalui pendidikan seni, terutama musik, dan pengalaman spatial/temporal melalui pendidikan olah raga, maka akan kita temukan bahwa porsi pendidikan matematika dan sains mendominasi kurikulum pendidikan dasar kita. Sementara pendidikan seni, termasuk musik, dan olah raga mengalami marjinalisasi luar biasa, dan hanya memperoleh porsi kurang dari 20%. Pendidikan nasional, terutama pendidikan dasar, Indonesia boleh dikatakan telah menderita ”kegilaan sains”, dan ”mati seni dan olah raga”, walaupun masih juga gagal membangun budaya sains. Pendidikan sejarah juga mengalami peminggiran secara sistematik.

Berbeda dengan Indonesia selama 30 tahun terakhir ini, pendidikan dasar di Barat yang maju justru memberikan perhatian pada pendidikan matematika, sains, bahasa,.

Mari kita bermimpi dan berhitung. Melalui Visi 2030 apa yang kira-kira dialami anak Indonesia yang lahir tahun 2007? Ketika berumur 23 tahun nanti, mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi, kalau mendapatkan pekerjaan akan membentuk angkatan kerja dengan pendapatan per kapita 18.000 dollar AS per tahun. Mereka akan berpenghasilan Rp 15 juta per bulan, atau Rp 500.000 per hari dengan kurs Rp 10.000. Merekalah sebagian dari 285 juta jiwa penduduk Indonesia.

Visi Indonesia 2030 itu ketika dipertemukan dengan realitas aktual, terbentang jurang besar, kata Romo Pujasumarto. Pada tahun 2006, misalnya, dengan penduduk lebih dari 220 juta orang, kondisi kehidupan ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan.

Kemiskinan adalah kenyataan hidup. Sampai Februari 2005, misalnya, 35,10 juta warga negara, artinya 15 persen dari 97 juta penduduk—membengkak menjadi 35,1 juta orang (15,97 persen) dari jumlah penduduk Indonesia—menderita kemiskinan. Jumlah itu meningkat menjadi 39,05 juta (17,97 persen) pada bulan Maret 2006. Merekalah orang miskin dengan biaya hidup di bawah Rp 14.000 per hari per orang, artinya per bulan Rp 420.000. Ketika kemiskinan diukur dengan biaya hidup sekitar Rp 18.000 per orang per hari, jumlah orang miskin Indonesia menjadi 108,78 juta atau sekitar 49 persen penduduk Indonesia.

Kalau data di atas disandingkan dengan data pengangguran, dua entitas yang punya relasi saling memengaruhi, dijumpai betapa negeri ini secara kualitatif merosot. Laporan PBB yang terakhir, Mei 2007, menyebutkan tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Sepanjang tahun 2000-2006 tingkat pengangguran di sebagian besar negara ASEAN stabil atau menurun, sebaliknya di Indonesia naik dari 6 persen menjadi 10,4 persen.
Jurang besar visi dan realitas itulah yang dihadapi. Visi Indonesia 2030 tidak memperhitungkan tantangan riil yang dihadapi. Visi memang mimpi. Sehingga ketika dibuat dengan mengabaikan faktor ruang kontekstual, visi menjadi utopia. Ngawang-awang di langit takkan tercapai. Padahal ada hitung-hitungan yang dibuat Tujuan Pembangunan Abad Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). MDGs dengan rinci menegaskan tingkat capaian pembangunan sampai 2015.

Mengenai bidang pendidikan yang tidak dirumuskan Visi 2030, MDGs menargetkan pada 2015 semua anak di mana pun dapat menyelesaikan pendidikan dasar. “Saya melihat rumusan MDGs realistis dan terukur baik dalam hal menanggulangi kemiskinan dan kelaparan maupun pendidikan,” kata Tukiman Taruna. Dengan tidak menyebutkan pendidikan dan semata-mata capaian ekonomi, rupanya Visi 2030 beranggapan, “Sejauh perekonomian membaik apalagi estimasi pendapatan 50 dollar AS sehari, sejauh itu pula pendidikan semakin mencerdaskan bangsa.”

MDGs mencantumkan 41 indikator. Semua indikantor terukur dengan jelas, misalnya, target menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya pada tahun 2015. Indikatornya, prevalensi anak balita kurang gizi, proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimal 21.000 kalori per kapita per hari. Sementara dalam Visi 2030 masih sangat global dan umum.

Bicara mengenai angkatan kerja berarti juga bicara tentang pendidikan. Artinya, apakah angkatan kerja nanti sudah siap dan sudah dengan baik dipersiapkan. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan sebuah fakultas Universitas Gadjah Mada, menunjukkan ketika kita berbicara tentang perkembangan anak, 76 persen keberhasilannya sangat tergantung dari program intervensi yang kita lakukan. Intervensi antara lain dilakukan lewat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan pemerintah tahun 2006.

Ketika program intervensi dilakukan terhadap kesejahteraan keluarga, kontribusinya hanya 50 persen bagi perkembangan anak. Sementara pendapatan 18.000 dollar AS per tahun menurut Visi 2030 mau digenjot. Berdasar penelitian ini sumbangannya terhadap perkembangan anak hanya 50 persen.

Pendidikan = jembatan
Hitung-hitungan logis diskusi sehari itu menegaskan persyaratan yang disampaikan kepala negara. Mengutip Presiden, “bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mewujudkan mimpi yang besar”, perwujudan itu memerlukan sejumlah syarat. Salah satu jembatan yang perlu mendapat perhatian serius adalah pendidikan; bagaimana mempersiapkan anak didik agar mengalami “impian 2030” itu.

Sebaliknya pada saat yang sama, kita memang bangsa gampang lupa, pengidap amnesia.

Dalam konteks pengidap amnesia, tahun 1957 Presiden Soekarno pernah kecewa. Dia kecewa atas pengembangan pembangunan nasional yang perlu diberi basis pada pengembangan sumber daya manusia. Dua puluh lima tahun kemudian kondisi itu tidak jauh berbeda. Menurut Soedijarto, panelis, di tengah kondisi semakin tertinggal jauh dari perkembangan global, tahun lalu Indonesia belum termasuk dalam 10 besar ekonomi .

Menurut Soedijarto, dalam kondisi mencemaskan itu, Indonesia Forum meramalkan tahun 2030 Indonesia akan muncul sebagai salah satu lima besar ekonomi dunia. Perkembangan pesat itu menurut Soedijarto disebabkan keberhasilan mengembangkan pendidikan tinggi.

India, misalnya, yang pada 2005 berada di luar 10 besar diramalkan pada 2040 masuk menjadi nomor tiga. India diramalkan menghasilkan hampir 700.000 sarjana IPA dan teknik yang pada tahun 1990-1991 baru lebih kurang 200.000 sarjana. China yang pada 1990-1991 menghasilkan 200.000 sarjana IPA dan teknik, tahun 2004 menghasilkan lebih dari 500.000 sarjana. AS yang pada 1990-1991 menghasilkan lebih dari 300.000 sarjana IPA dan teknik, tahun 2004 telah menghasilkan 400.000 sarjana.
Cerita sukses mereka menunjukkan bahwa pendidikan, utamanya pendidikan tinggi, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan negara, terutama ekonomi. Karena itu, menarik dipersoalkan Visi Indonesia 2030 kurang mendudukkan peran pendidikan tinggi. Memang tidak langsung disebutkan, pada 2030 Indonesia masuk 10 besar dunia, tetapi bagaimana “jembatan” itu dikembangkan tidak dijelaskan rinci.
Pertanyaannya, bagaimana strategi pendidikan nasional Indonesia menghadapi tantangan ke depan itu. Selain menyangkut dana pendidikan yang belum mencapai 20 persen, AS pada tahun 2005 menyediakan beasiswa 100 miliar dollar AS, di samping dana-dana lain untuk meningkatkan jumlah lulusan bermutu dan kompeten.

Belum ketemu
Kalau segala ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945, terutama yang terkait Pasal 31 Ayat 2: “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” Pasal 31 Ayat 5: “pemerintah berkewajiban memajukan iptek” dilaksanakan secara konsekuen, perkiraan visi Indonesia 2030 bukanlah mimpi besar.

Menurut Soedijarto, pasal-pasal dengan konsekuensi anggaran 20 persen itu mengarahkan, kalau Indonesia akan membangun kehidupan bangsa yang cerdas, amat tergantung keberhasilan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang bermutu dan merata. Hal itu tercermin dari keberhasilan Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang yang didasarkan atas keberhasilannya membangun infrastruktur sebagai bagian dari fase awal industrialisasi. Infrastruktur dimaksud meliputi fisik, teknologi, SDM, dan kewirausahaan/usaha kecil. Keempatnya prasyarat keberhasilan pembangunan ekonomi.

Dalam hal infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyiapan SDM, terlihat jelas hubungan universitas dan produktivitas universitas utamanya bidang iptek. Pada abad ke-21 ini universitas merupakan mesin utama lembaga pendidikan dan riset, dan pembangunan ekonomi berdasar iptek. Karena itu, AS menyediakan anggaran belanja untuk pendidikan tinggi 2,5 persen PDB-nya, sedangkan dana pendidikan bagi SD hingga universitas di Indonesia hanya 0,2 persen PDB. Akibatnya, walau lulus, tak ada hubungannya dengan dunia industri.

Strategi dan sistem pendidikan di Indonesia terlihat tidak gayut (ketemu), dengan Visi 2030. Praksis pendidikan tidak relevan dengan pembangunan ekonomi, tidak relevan dengan pembangunan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai sebab atau akibat, hal itu terlihat belum dibiayainya secara penuh penyelenggaraan pendidikan dasar, sehingga sekitar 30 persen anak usia SD tidak dapat menyelesaikan pendidikan tingkat SD, hanya 60 persen lulusan SD meneruskan ke jenjang SMP. Dari sisi hukum terlihat tidak dilaksanakannya ketentuan Pasal 12 Ayat 6 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang hak anak untuk memperoleh pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat dan kemampuannya.

Penyelenggaraan ujian nasional mempersulit upaya menjadikan sekolah sebagai tempat pembelajaran segala kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan. Padahal, lembaga pendidikan bukanlah untuk memilih dan memilah mereka dari segi kemampuan kognitif, suatu praksis pendidikan yang a-demokratis. Lebih parah lagi, mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Apalagi dengan kelalaian Indonesia membiayai pendidikan tinggi, semakin terlihat sulit merealisasikan Visi 2030.
Karena berbagai ketentuan dalam UUD 1945, dan UU No 3/2003 tidak dilaksanakan, artinya perlu tinjauan budaya politik di Indonesia. Tidak dilaksanakannya ketentuan mendasar untuk masa depan bangsa, masih menjadi salah satu karakteristik praktik politik di Indonesia; menunjukkan belum cerdasnya kehidupan bangsa ini.

Diskusi menawarkan jalan keluar. Satu di antaranya bagaimana partai tidak hanya berkutat pada persoalan hak-hak politik, tetapi juga hak-hak dasar sebagai hak asasi manusia, di antaranya hak memperoleh pendidikan baik dan kompeten.

Dengan fokus itu politisi dan birokrat Indonesia memperjuangkan secara serius dalam wacana maupun eksekusi tentang terealisasinya pasal-pasal UUD berikut turunannya, termasuk terealisasinya 20 persen anggaran nasional untuk pendidikan. Kalau tidak, gagal pernyataan Presiden, bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mewujudkan mimpinya”.

Visi Indonesia 2050 tetap jadi mimpi besar.



DALAM HAL KESEHATAN

Tahun 2050 Sekitar 50 Persen Osteoporosis Ada di Asia

Diperkirakan sebanyak 50 persen osteoporosis di dunia terjadi di Asia pada tahun 2050. Dari hasil audit International Osteoporosis Foundation yang baru diluncurkan, ditemukan fakta bahwa osteoporosis akan menjadi penyakit serius di kalangan penduduk Asia dan cakupan penderitanya pun semakin muda usianya.

cetak.kompasIce Tjetjep Suparman dari Perkumpulan Warga Tulang Sehat Indonesia (Perwatusi), di sela-sela konferensi dunia komunitas pemerhati osteoporosis di Beijing, Rabu (23/9), mengatakan, dari pemeriksaan kesehatan tulang yang dilakukan terhadap berbagai kalangan masyarakat ditemukan orang muda berusia 13- 24 tahun sudah mengalami pengapuran tulang. Sedikitnya sekitar 1.500 orang muda dideteksi memiliki gejala osteoporosis.

Gitara Siahaan dari bidang pendidikan Perwatusi mengatakan, orang-orang muda berpikir osteoporosis terjadi saat usia lanjut. Padahal, pola hidup yang tidak sehat sejak muda, seperti merokok, makan makanan cepat saji yang tidak sehat, dan tidak berolahraga, menyebabkan kondisi tulang tidak prima.

”Kami berusaha menjangkau orang-orang muda agar mereka menabung kalsium dan vitamin D sejak muda supaya di masa tuanya, mereka tidak mengalami ancaman osteoporosis karena tulang kurang mineral-mineral yang dibutuhkan,” kata Gitara.

Berdasarkan data dari 14 negara di Asia terlihat, kejadian patah tulang pinggul meningkat 2 hingga 3 kali lipat dalam 30 tahun ini. Hal itu karena asupan vitamin D dan kalsium yang rendah.

Laporan tersebut dituangkan dalam The Asian Audit Epidemiology, Costs and Burden Osteoporosis in Asia 2009 yang diluncurkan International Osteoporosis Foundation (IOF) dalam konferensi dunia komunitas peduli osteoporosis di Beijing, Selasa (22/9). Peluncuran data audit soal osteoporosis Asia itu baru pertama kali dilakukan, antara lain didukung Fonterra, perusahaan produk minuman yang peduli isu kesehatan tulang.

”Ancaman osteoporosis sudah nyata, tetapi hingga kini masih diabaikan jika dibanding perhatian ke penyakit lain. Program pencegahan untuk mengurangi jumlah penderita patah tulang juga minim. Data prevalensi osteoporosis terbatas, ditambah rendahnya kesadaran dokter dan masyarakat,” kata Ambrish, Presiden Perhimpunan Penelitian Tulang dan Mineral India.

Enam kali lipat

Bukti-bukti peningkatan osteoporosis terlihat antara lain di Hongkong. Dalam empat dekade ini, penderita patah tulang pinggul naik menjadi tiga kali lipat. Di Singapura menjadi enam kali lipat. Di Jepang, jumlah penderita patah tulang di kalangan penduduk berusia 75 tahun meningkat drastis dalam 12 tahun. Di daratan China, sebanyak 70 juta penduduk berusia 50 tahun ke atas menderita osteoporosis, yang berarti ada 687.000 penderita setiap tahun.

Osteoporosis menyebabkan penderitaan yang bisa menimbulkan kecacatan hingga kematian. Banyak kejadian patah tulang pinggul, pasien meninggal saat serangan di tahun pertama.

Penyakit itu sebenarnya sangat mudah dicegah. Program pencegahan dengan menjaga kesehatan tulang sejak usia muda mesti menjadi fokus untuk melawan osteoporosis massal.

Joanne Todd, Health Platform Manager Fonterra, menjelaskan, kesadaran akan ancaman osteoporosis mesti terus dilakukan. Dukungan datang dari komunitas-komunitas masyarakat atau profesional kesehatan yang peduli terhadap beban yang ditimbulkan penyakit itu.

”Dengan menjalankan diet yang sehat dan memerhatikan asupan dengan vitamin D dan kalsium yang cukup, olahraga cukup sepanjang hidup, secara signifikan bisa mengurangi osteoporosis,” katanya. (ELN)


REFERENSI
1)GOOGLE
2)http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=4022
3)http://hariansib.com/?p=12950